• Jelajahi

    Copyright © Nusantara Maju
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Belajar dari Sejarah Jong Batak yang Menyatukan, Bukan Memisahkan

    29 Oktober 2025, Oktober 29, 2025 WIB Last Updated 2025-10-29T06:13:42Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini

     


    Sumber : Hery Buha Manalu


    Sejarah selalu punya cara untuk berbicara kepada generasi sekarang, jika kita mau mendengarkan dengan hati. Salah satu pelajaran paling berharga datang dari para pemuda Batak yang tergabung dalam Jong Batak, organisasi yang lahir di awal abad ke-20. Di tengah tekanan kolonialisme Belanda, para pemuda Batak memilih bersatu bukan sekadar untuk menegaskan identitas, tetapi untuk berkontribusi bagi kebangkitan bangsa. Mereka tahu, kekuatan terbesar bukan terletak pada perbedaan, melainkan pada kemampuan untuk menyatukan langkah demi tujuan yang lebih besar.


    Jong Batak bukan organisasi yang memisahkan sub-etnis, marga, atau daerah asal. Mereka datang dari Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Karo, Simalungun, Pakpak, Angkola, dan Mandailing. Masing-masing membawa adat, bahasa, dan ritualnya sendiri, tetapi semangat yang menyatukan adalah cinta tanah air dan keyakinan bahwa kebenaran adalah dasar hidup, Habonaron do Bona. Kesadaran ini membuat mereka mampu menembus sekat-sekat marga dan lokalitas, dan berkolaborasi dengan pemuda dari suku lain di Indonesia.


    Hari ini, hampir seabad kemudian, sejarah Jong Batak kembali relevan. Beberapa waktu terakhir, media sosial dihebohkan oleh fenomena beberapa sub-etnis yang menyatakan diri “bukan Batak.” Fenomena ini memunculkan perdebatan, perasaan tersinggung, dan bahkan polarisasi di antara generasi muda Batak. Pertanyaannya bukan sekadar “siapa yang Batak?” tetapi lebih mendasar, apa arti menjadi Batak hari ini?


    Jika kita membaca sejarah Jong Batak, jawaban itu menjadi jelas. Menjadi Batak bukan soal label atau identitas semata, tetapi tentang nilai dan tindakan. Nilai yang diwariskan leluhur, kejujuran, hormat, kasih, dan tanggung jawab sosial, adalah inti dari apa yang disebut Batak. Ketika seseorang hidup sesuai prinsip itu, ia telah menegakkan semangat Batak, meskipun bahasa, logat, atau marga mungkin berbeda.


    Sejarah Jong Batak mengajarkan satu hal penting, identitas harus menjadi jembatan, bukan sekat. Mereka menyadari bahwa perpecahan hanya akan melemahkan komunitas dan bangsa. Ketika perbedaan menjadi alasan untuk menutup diri, roh persaudaraan terancam punah. Dan saat ini, kita melihat tantangan yang sama, arus informasi cepat, perdebatan identitas, dan ego sektoral bisa membuat akar budaya kita tergerus jika tidak dijaga dengan hati-hati.


    Dalam konteks modern, filosofi Batak Dalihan Na Tolu menjadi panduan hidup yang luar biasa. Tiga tungku, hula-hula (marga pasangan), dongan tubu (sesama), dan boru (anak perempuan), mengajarkan keseimbangan antara hormat, kasih, dan tanggung jawab. Prinsip ini bisa diterjemahkan ke dalam kehidupan masa kini, menghormati pengalaman dan pengetahuan, menghargai sesama tanpa membeda-bedakan, dan melindungi generasi muda dengan kasih dan perhatian.


    Jika nilai ini diterapkan, fenomena “bukan Batak” tidak akan menjadi konflik, melainkan panggilan untuk dialog dan pemahaman. Identitas tidak hilang ketika sub-etnis memilih menegaskan jalan hidupnya sendiri, sebaliknya, kesadaran akan akar yang sama menjadi penguat persatuan. Jong Batak mengajarkan bahwa persaudaraan tumbuh dari kesediaan untuk memahami dan menghormati perbedaan, bukan dari paksaan homogenitas.


    Karya dan Kolaborasi, Bentuk Sumpah Pemuda Masa Kini


    Sumpah Pemuda hari ini harus diterjemahkan ke dalam karya dan kolaborasi. Pemuda Batak modern dapat menyalakan kembali api Jong Batak melalui tindakan nyata, mengembangkan proyek budaya lintas sub-etnis, melestarikan ulos dan musik tradisional, membangun platform edukasi digital, atau menginisiasi program sosial yang menyejahterakan masyarakat. Karya adalah bahasa universal yang mampu menyatukan hati tanpa membatasi identitas.


    Ketika kita bekerja bersama dengan semangat. "Tampakna do tajomna, rim ni tahi do gogona.” Artinya, “kebersamaan itu adalah ketajaman, satu jalan pikiran adalah kekuatan.",  kita menegaskan kembali bahwa perbedaan adalah kekuatan, bukan kelemahan. Solidaritas yang lahir dari pemahaman sejarah dan nilai budaya akan menjadi pondasi untuk membangun generasi Batak yang kreatif, berani, dan tetap bersatu.


    Menyalakan Kembali Api Jong Batak


    Memperingati Hari Sumpah Pemuda berarti menyalakan kembali api Jong Batak di hati setiap generasi muda. Ini adalah panggilan untuk berani bermimpi, berani berkarya, dan berani menjaga persatuan. Dunia boleh berubah, media sosial boleh memicu kontroversi, tetapi nilai-nilai Batak yang sejati akan selalu menjadi akar yang meneguhkan langkah.


    Mari belajar dari Jong Batak, menyatukan, bukan memisahkan, memahami, bukan menghakimi, berkarya, bukan berdebat. Sebab, persaudaraan yang dibangun di atas kebenaran dan kasih akan selalu lebih kuat daripada perbedaan yang dipaksakan.


    Dan di setiap langkah, setiap karya, setiap dialog yang tulus, kita bisa berkata dengan bangga, "Aku pemuda Batak. Aku anak Indonesia". Selamat Hari Sumpah Pemuda

    Komentar

    Tampilkan

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Berkomentarlah sesuai topik dan menjaga etika sopan-santun